Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SUMBAWA BESAR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2018/PN Sbw DABUK Perlindungan Hutan Konvervasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 04 Jun. 2018
Klasifikasi Perkara Lain-lain
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2018/PN Sbw
Tanggal Surat Senin, 04 Jun. 2018
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2018/PN Sbw
Pemohon
NoNama
1DABUK
Termohon
NoNama
1Perlindungan Hutan Konvervasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Kuasa Hukum Termohon
NoNamaNama Pihak
1ASTAN WIRYA, S.H., M.H.Perlindungan Hutan Konvervasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
Petitum Permohonan

HAL  : PERMOHONAN PRAPERADILAN                  Sumbawa, 04 Juni 2018

Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI SUMBAWA
di –
    Sumbawa Besar    

Dengan hormat,
Kami yang bertanda tangan di bawah ini:
N a m a        :    D A B U K
Tempat/Tgl. Lahir    :    Lombok Tengah, 01 Juli 1974
Jenis Kelamin    :    Laki-Laki
Agama    :     Islam
Pekerjaan    :    Wiraswasta
Kewarganegaraan    :    Indonesia
Alamat tinggal    :    Dusun Sori Soga Desa Pekat Kecamatan Pekat Kab. Dompu – NTB
        Selanjutnya disebut sebagai TERSANGKA ;
        Dalam perkara ini berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28-05-2018 (kuasa terlampir) telah memberikan kuasa sebagai Penasehat Hukum kepada:
        1) YAN MANGANDAR PUTRA, SH
        2) KURNIAWAN, SH
        Seluruhnya Berkewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan Advokat pada Kantor Hukum MANGANDAR & REKAN Advokat, Mediator dan Konsultan Hukum, Alamat kantor di Jalan Kesehatan I No. 8 Pajang Timur Kota Mataram – NTB, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama bertindak untuk dan atas nama Tersangka. Selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ;

Dengan ini Pemohon mengajukan Permohona Praperadilan terhadap:
PEMERINTAH RI, Cq. GUBERNUR NUSA TERNGGARA BARAT, Cq. DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT, Cq. KABID. PERLINDUNGAN HUTAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM SELAKU PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT,  Alamat di Jalan Majapahit No. 54 Mataram – NTB. Selanjutnya disebut sebagai TERMOHON;

Dengan ini Pemohon mengajukan permohonan praperadilan kepada Termohon dengan alasan sebagai berikut:

A.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa permohonan praperadilan a quo diajukan oleh Pemohon karena penghentian dan penyitaan barang bukti truk beserta kayu muatannya dan dokumen oleh Termohon berada di wilayah Pengadilan Negeri Sumbawa dan atas tindakan tersebut telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka. Untuk itu, pengajuan permohonan praperadilan a quo telah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang semata sebagai pranata memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi Tersangka atau Terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum dan menjauhkan Tersangka atau Terdakwa dari tindakan kesewenang-wenangan penyidik/penuntut umum, karena seharusnya di dalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang (prinsip Habeas Corpus).
1)    UU RI No. 8 Tahun 1981 Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada bagian Konsiderans menimbang huruf a dan c, tertulis:
(a) Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan UU Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala wargaNegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(c) Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta  kepastian hukum demi terselenggaranya Negara Hukum sesuai dengan UU Dasar 1945.
2)    Pasal 1 angka 10 KUHAP menyebutkan:
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.     permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
3)    Bahwa dasar hukum yang menentukan kewenangan Pengadilan untuk mengadili perkara Praperadilan diatur dalam KUHAP dari Pasal 77 s.d Pasal 83, termasuk didalamnya diatur pula tentang subyek dan obyek praperadilan sebagaimana terurai dibawah ini, yaitu:
Pasal 77:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.    sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 78:
1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.
2)     Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Pasal 79:
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 80:
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
Pasal 81:
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.
Pasal 82:
1)    Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:
a.    dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;
b.    dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;
c.    permeriksaan tersebut dilakukan dengan acara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
d.    dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;
e.    putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
2)    Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.
3)    Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut:
a.    dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;
b.    dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c.    dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;
d.    dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
4)    Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.
Pasal 83:
(1)    Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.
(2)    Dikecualikan dan ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Selain ketentuan KUHAP tersebut di atas maka patut dipertimbangkan beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi terkait praperadilan a quo, yaitu:
Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, terkait Kewenangan Praperadilan Penetapan Tersangka
MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Adapun salah satu pertimbangan hukumnya, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenangan penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya.
Putusan MK ini memberikan perlindungan terhadap seseorang yang mengalami proses hukum yang keliru pada saat ditetapkan sebagai tersangka. Di dalam ketentuan Pasal 8 UU 39/1999 tentang HAM diatur bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini berarti MK mengambil peran dalam pemenuhan hak asas manusia melalui putusannya sebagai bagian dari upaya responsif konstitusional. Salah satu unsur perlindungan hukum yang ditekankan melalui putusan ini adalah kepastian hukum bahwa penyidik harus melakukan tindakan penyidikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Bahwa Setelah lahirnya Putusan MK ini, maka permohonan praperadilan atas penetapan tersangka memiliki landasan hukum untuk diajukan ke pengadilan namun terdapat karakteristik khusus pengajuan praperadilan terkait penetapan tersangka yakni 1). penetapan tersangka tidak sah karena pemeriksan saksi-saksi, ahli, tersangka, penggeledahan, serta penyitaan dilakukan setelah penetapan tersangka sehingga tidak terpenuhinya 2 (dua) alat bukti, 2). permohonan praperadilan yang kedua kalinya mengenai penetapan tersangka tidak dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem karena belum menyangkut pokok perkara, 3).penetapan tersangka atas dasar hasil pengembangan Penyidikan terhadap tersangka lainnya dalam berkas berbeda adalah tidak sah.

Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015, Penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
MK menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut. Adapun alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.

B.    ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
Bahwa adapun alasan-alasan permohonan praperadilan a quo yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut:
1)    Bahwa Pemohon pada tanggal 29 September 2017 melakukan pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak yang berasal dari beberapa kebun masyarakat yang berada di Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu dengan menggunakan 4 (empat) truk dengan jumlah volume sekitar 45 kubik dengan berbagai jenis campuran diantaranya jenis bara, kalanggo, katowi, Na’a, Tere, Kabae dan Ndaru yang rencananya kayu tersebut akan di bawa ke Kabupaten Lombok Barat, selanjutnya truk-truk tersebut jalan dengan membawa Nota Angkutan dan fotokopi sertifikat dan selama diperjalanan truk-truk tersebut selalu dilakukan pemeriksaan baik dokumen maupun kayu yang diangkut oleh anggota Polisi, TNI dan Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Propinsi NTB di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa yaitu pada tiap pos, kantor dan resort yang dilewati. Selanjutnya pada terhadap 3 (tiga) truk dari 4 truk saat beristirahat minum kopi di Jalan Lintas Sumbawa - Bima di Kampung Banjir Kabupaten Sumbawa dekat LAPAS Sumbawa didatangi oleh seseorang yang tanpa mengenalkan identitas, tidak ada surat tugas dan tidak ada surat penggeledahan yang ditunjukkan kepada ketiga sopir truk langsung melakukan pemeriksaan terhadap truk dan kayu muatanya dan kemudian aki 3 truk tersebut dilepaskan sehingga tidak bisa dinyalakan.
2)    Bahwa selanjutnya terhadap 1 (satu) truk sekitar jam 03.00 di Jalan Lintas Sumbawa Bima di Desa Serading Kecamatan Moyohilir Kabupaten Sumbawa dihadang oleh anggota Polres Sumbawa dan selanjutnya sopir dan truk bersama muatan kayunya disita di Markas Polres Sumbawa karena dicurigai mengangkut kayu hasil hutan tanpa dokumen sah dan terhadap sopir truk dilakukan pemeriksaan dan penangkapan/penahanan.
3)    Bahwa Pemohon menghadap ke Kantor BKPH Puncak Ngengas Batu Lanteh Propinsi NTB dan Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prop. NTB (Termohon) untuk menanyakan 3 truk beserta muatan kayu yang telah disita, dan dijelaskan bahwa truk dan muatan kayunya telah disita di Markas Kodim 1607/Sumbawa dan akan segera dilakukan lacak balak untuk menentukan apa benar kayu-kayu tersebut berasal dari hutan hak atau tidak berdasarkan dokumen nota angkutan. Selanjutnya Pemohon menghadap ke Markas Polres Sumbawa, dijelaskan bahwa 1 truk dan kayu muatannya sementara disita di Markas Polres Sumbawa sampai dilakukan lacak balak.
4)    Bahwa pada tanggal 1 Oktober 2017 anggota Polres Sumbawa bersama dengan BKPH Tambora Propinsi NTB dengan dihadiri juga oleh Pemohon melakukan lacak balak terhadap tonggak-tonggak kayu bekas potong kayu muatan 1 truk, namun karena muatan kayu dalam 1 truk tersebut tidak dapat ditentukan di hutan hak milik siapa sehingga lacak balak dilakukan terhadap seluruh tonggak kayu yang dimuat oleh seluruh truk termasuk kayu yang dimuat 3 truk yang disita oleh BKPH Puncak Ngengas Batu Lanteh, hasil lacak balak tersebut adalah bahwa tonggak-tonggak kayu yang ditemukan telah sesuai berasal dari hutan hak, jenis dan jumlah volume sekitar 46 kubik sebagaimana terdapat dalam 4 truk tersebut.
5)    Bahwa berdasarkan hasil lacak balak tersebut Polres Sumbawa telah mengembalikan 1 truk beserta muatannya kepada Pemohon, namun terhadap Termohon tidak menerima hasil lacak balak tersebut dan tetap melakukan penyitaan terhadap 3 truk beserta muatan kayunya.
6)    Bahwa Pemohon lagi pada tanggal 4 November 2017 melakukan pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak yaitu dari beberapa kebun masyarakat yang berada di Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu dengan menggunakan 6 (enam) truk dengan jumlah volume sekitar 100 kubik dengan berbagai jenis campuran diantaranya jenis bara, kalanggo, katowi, Na’a, Tere, Kabae dan Ndaru yang rencananya kayu tersebut akan di bawa ke Kabupaten Lombok Barat, selanjutnya di truk-truk tersebut jalan dengan membawa Nota Angkutan dan fotokopi sertifikat dan selama diperjalanan truk-truk tersebut selalu dilakukan pemeriksaan baik dokumen maupun kayu yang diangkut oleh anggota Polisi, TNI dan Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Propinsi NTB di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Sumbawa yaitu pada tiap pos, kantor dan resort yang dilewati. Namun terhadap 6 (enam) truk tersebut saat di Jalan Lintas Sumbawa - Bima Plampang Kabupaten Sumbawa diberhentikan oleh 3 (tiga) orang yang tanpa mengenalkan identitas, tidak ada surat tugas dan tidak ada surat penggeledahan yang ditunjukkan kepada keenam sopir truk, namun langsung menanyakan terkait keberadaan truk dan muatanya, selanjutnya 6 truk dan dokumen tersebut disita tanpa dibuatkan berita acara serah terima dan terhadap seluruh sopirnya tidak dilakukan pemeriksaan maupun penangkapan/penahanan.
7)    Bahwa Pemohon menghadap ke Kantor BKPH Ampang Plampang Propinsi NTB dan Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prop. NTB (Termohon) untuk menanyakan 6 truk beserta muatan kayu yang telah disita, dan dijelaskan bahwa truk dan muatan kayunya telah disita di Markas Kodim 1607/Sumbawa dan akan segera dilakukan lacak balak untuk menentukan apa benar kayu-kayu tersebut berasal dari hutan hak atau tidak berdasarkan dokumen nota angkutan. Sehingga total keseluruhan truk dan muatanya yang disita di Markas Kodim 1607/Sumbawa oleh Termohon adalah 9 (sembilan) truk.
8)    Bahwa berdasarkan uraian dalil angka 1 dan 6 diatas terkait penyitaan barang bukti berupa 9 truk, kayu muatan dan dokumen tanggal tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017, Temohon telah melakukan tindakan PENYITAAN YANG TIDAK SAH karena melanggar/bertentangan dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a)    Bahwa penyitaan yang dilakukan oleh Termohon tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017 sesuai dengan Pasal 1 angka 16 KUHAP, tertulis: Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Selanjutnya tindakan penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh Termohon tersebut merupakan proses penyidikan sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang tertulis: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.  Untuk itu, tindakan penyitaan tersebut dilakukan Termohon tanpa Izin Ketua Pengadilan, cara penyitaan tersebut bertentangan dengan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, Tertulis: (1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuan.
b)    Bahwa tindakan penyitaan, oleh Termohon dilakukan tanpa memperlihatkan identitas kepada sopir truk yang sedang mengangkut barang bukti tersebut, cara penyitaan demikian bertentangan dengan Pasal 128 KUHAP, tertulis: Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.
c)    Bahwa tindakan penyitaan Termohon dilakukan dengan cara-cara bertentangan dengan Pasal 129 KUHAP, tertulis: (1) Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada, orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi. (3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya. (4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
d)    Bahwa tindakan penyitaan, oleh Termohon dilakukan dengan cara-cara berbetentangan dengan Pasal 130 KUHAP, menegaskan: (1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.
e)    Bahwa selain melanggar ketentuan KUHAP, tindakan Termohon yang melakukan  penyitaan barang bukti tanpa penyegelan barang bukti dan pembuatan Berita Acara penyitaan pada hari penyitaan Barang Bukti dilakukan tertanggal 29 September 2017 dan 4 November 2017, cara Termohon tersebut nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 40 UU ayat (1) No 18 Tahun 2013, yang tertulis: Penyidik yang melakukan penyitaan barang bukti hasil tindak pidana perusakan hutan, baik berupa barang bukti temuan maupun barang bukti sitaan, wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan yang sekurang-kurangnya memuat: a. nama, kelompok jenis, sifat, dan jumlah; b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai kayu hasil pembalakan liar; dan/atau d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
9)    Bahwa pada bulan April 2018 dilakukan lacak balak oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi NTB bersama BKPH BKPH Puncak Ngengas Batu Lanteh dan BKPH Ampang Plampang Propinsi NTB (Termohon) dan pihak POLDA NTB juga Pemohon serta petani penjual kayu hutan hak yang pernah menjual kayu miliknya kepada Pemohon yang diangkut dengan 9 (sembilan) truk (3 truk yang disita Termohon tanggal 29 September 2017 dan  6 truk yang disita tanggal 4 November 2017), pemeriksaan dilakukan 2 (dua) hari, yaitu hari Jum’at dimulai dari sekitar jam 15.00 s/d 18.00 WITA dibagi 3 (tiga) tim tempat pemeriksaan yaitu Pekat, Tambora dan Sorinomo. Pemohon sempat memprostes pembagian menjadi 3 Tim karena Pemohon tidak bisa mengikuti seluruh proses pemeriksaan lacak balak di semua tempat, namun protes tersebut tidak diindahkan. Tersangka pun ikut Tim di Pekat dan selama pemeriksaan lacak balak Tersangka menilai Tim tidak maksimal karena tidak memeriksa semua tonggak kayu di Pekat dengan Termohon beralasan sudah malam, selanjutnya hari SABTU dimulai dari sekitar jam 13.00 WITA s/d 17.00 WITA dibagi 2 (dua) Tim tempat pemeriksaan yaitu Pekat dan Sorinomo, namun Pemohon tidak ikut karena Pemohon tidak setuju adanya pembagian menjadi 2 Tim karena proses lacak balak tidak dilakukan maksimal pada semua tempat termasuk di Karang lebah, Kadindi dan Tambora. Namun Pemohon tetap melakukan lacak balak tanpa Pemohon,  hasil lacak balak yaitu TIDAK SESUAI jumlah tonggak yang ditunjuk lebih sedikit dibanding dengan jumlah kayu dari hutan hak yang diangkut berdasarkan nota angkuta dan fotokopi sertifikat, namun Pemohon tetap menandatangani Berita Acara lacak balak tersebut karena dijanjikan oleh Termohon akan dilakukan lacak balak tambahan tinggal tunggu perintah pimpinan. Namun faktanya sampai saat sekarang tidak pernah dilakukan lacak balak tambahan.
10)     Bahwa pada awal bulan Mei 2018 Termohon mulai melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi termasuk 9 (sembilan) orang sopir truk terkait kasus Pemohon dan terhadap Pemohon dilakukan panggilan I dengan cara dihubungi melalui Handphone oleh Termohon supaya menghadiri pemeriksaan sebagai saksi di Kantor Termohon di Mataram tanggal 15 Mei 2018. Pemohon pun hadir namun pemohon menolak untuk lanjut diperiksa karena pemohon tidak menerima penjelasan awal Termohon sebelum dimulai pemeriksaan bahwa Pemohon akan diperiksa terkait adanya laporan dari PT. Agro Wahana Bumi (disingkat PT AWB) yang kehilangan kayu dan dicurigai kayu yang dimuat di 9 truk milik Pemohon tersebut adalah kayu dari PT AWB, sehingga Pemohon pun bersih keras supaya Termohon menunjukkan Laporan atau Berita Acara Pemeriksaan pihak dari PT AWB, namun Termohon tidak memberikannya sehingga pemeriksaan tidak dilanjutkan.
11)     Bahwa selanjutnya dilakukan panggilan II kepala Pemohon dengan cara dihubungi melalui Handphone oleh Termohon supaya menghadiri pemeriksaan sebagai saksi di Kantor Termohon di Mataram, selanjutnya tanggal 24 Mei 2018 Pemohon hadir namun tidak jadi pemeriksaan karena Pimpinan Termohon sedang tidak berada di tempat dan diminta kepada Pemohon untuk hadir besok tanggal 25 Mei 2018.
12)     Bahwa pada tanggal 25 Mei 2018 Pemohon diperiksa oleh Termohon sebagai saksi dan selanjutnya datang pihak dari POLDA NTB bersama seorang yang mengaku berprofesi sebagai Pengacara yang akan mendampingi Pemohon selama pemeriksaan, namun Pemohon menolak karena tidak mengenal Pengacara tersebut. Termohon menjelaskan kepada Pemohon bahwa Pemohon telah berstatus sebagai Tersangka dan akan ditahan karena telah memenuhi dua alat bukti yaitu laporan PT AWB dan laporan BKPH Tambora. Selanjutnya Termohon menyodorkan banyak surat untuk Pemohon tandatangani sehingga Pemohon tidak ingat jelas surat-surat tersebut dan selanjutnya surat-surat yang telah ditandatangani Pemohon dan beberapanya diberikan kepada Pemohon salinannya, yaitu:
a.    Surat Panggilan I No. SP/12/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 11 Mei 2018;
b.    Surat Perintah Penangkapan No. SP.KAP.03/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018;
c.    Surat Perintah Penahanan No. SP.HAN.03/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018;
d.    Surat Tanda Penerimaan No. STP.02/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018;
e.    Berita Acara Penyitaan tanggal 25 Mei 2018.
Setelah itu Pemohon diantar ke Rumah Tanahan Negara POLDA NTB sampai sekarang.
13)     Bahwa berdasarkan surat-surat tersebut menerangkan bahwa DABUK (Pemohon) merupakan Tersangka karena disangka melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b jo Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 88 ayat (1) huruf a jo Pasal 16 UU RI No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Pemohon baru mengetahui ternyata dalam kasus a quo telah ada Surat Perintah Penyidikan No. SP.Sidik.02/IV/PPNS-DISLHK/2018 tanggal 30 April 2018.
14)     Bahwa proses dan penandatanganan dokumen terkait penyitaan tersebut bertentangan sebagaimana ketentuan yang dijelaskan dalam dalil Pemohon terkait penyitaan tidak sah di atas, dan ini terkesan seperti sebuah jebakan bagi Pemohon menandatangani penyitaan barang bukti namun barang bukti tersebut tidak bisa Pemohon lihat langsung pada saat tandatangan supaya Pemohon bisa mengetahui berapa jumlahnya dan bagaimana kondisinya setelah lama disita oleh Termohon di Kodim 1607/Sumbawa.
15)     Bahwa berdasarkan dalil angka 12 dan 13 tersebut di atas, TERMOHON TELAH MENETAPKAN STATUS TERSANGKA KEPADA PEMOHON TIDAK DIDASARKAN SEKURANG-KURANGNYA DUA ALAT BUKTI YANG SAH karena melanggar/bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu:
a)    Bahwa untuk menguji keabsahan penyelidikan, penyidikan dan penetapan Tersangka patut dipertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 21/PUUXII/2014 telah memberikan penegasan dan interpretasi bahwa penetapan tersangka adalah merupakan objek praperadilan, dengan mengacu adanya bukti 'bukti permulaan' 'bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang cukup' sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Jika ditelaah kembali terhadap proses penyidikan yang telah dilakukan oleh Termohon yang menjadikan Pemohon seabagai tersangka pada tanggal 25 Mei 2018 merupakan pelanggaran terhadap proses prosedur penyidikan yang diatur dalam KUHAP dan Undang Undang.
b)    Bahwa rangkaian dari peristiwa penyitaan 9 truk, kayu muatan dan dokumen dari Pemohon tertanggal 29 September 2017 dan 4 November 2017, merupakan merupakan proses penyidikan. Selain itu keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10 Desember 1983 No. M 14 PW.0703 Tahun 1983 telah memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengertian mulai melakukan penyidikan adalah jika kegiatan penyidikan tersebut sudah dilakukan tindakan upaya dari penyidik, seperti pemanggilan pro yustisia, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyitaan dan sebagainya. Hal demikian juga sesuai dengan hasil Rapat Kerja Mahkamah Agung dengan Departemen Kehakiman pada tanggal 15 sampai dengan 19 Februari 1982.
c)    Bahwa Termohon berwenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan (vide: Pasal 30 huruf f UU No 18 Tahun 2013), akan tetapi dalam pelaksanaan wewenang penyitaan 9 truk, kayu dan dokumen tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017, juga Termohon diwajibkan memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum setelah berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (vide : Pasal 32 No 18 Tahun 2013), sesuai Putusan Mahkmah Konstitusi No.130/PUU-XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017 melakukan uji materi Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan dalam amar putusannya: ”... penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”. Ini artinya Termohon harus memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum 7 (tujuh) hari terhitung dari proses penyidikan tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017, akan tetapi Termohon tidak pernah memberitahukan baik secara tertulis kepada Pemohon terkait telah dimulainya penyidikan dan adanya penetapan tersangka, sehingga terdapat tenggang waktu antara proses penyidikan dengan penangakapan, penahanan dan tanda tangan berita acara penyitaan sekitar 241 hari sejak tanggal 29 September 2017 s/d 25 Mei 2018. Oleh karena itu, segala rangakaian tindakan penyidikan setelah melewati batas waktu 7 (tujuh) hari dari waktu penyidikan, adalah nyata cacat hukum oleh karenanya batal demi hukum.
d)    Bahwa Termohon juga melakukan pelanggaran terhadap tenggang waktu penyelesaian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 39 huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tertulis: Untuk mempercepat penyelesaian perkara perusakan hutan: a. penyidik wajib menyelesaikan dan menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dimulainya penyidikan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Ini artinya Termohon wajib menyampaikan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum 90 (sembilan puluh) hari, terhitung dari proses penyidikan tanggal 29 September 2017 maka wewenang Termohon telah berakhir karena telah lewat batas waktu dari perhitungan 90 (sembilan puluh) hari, namun demikian sampai dengan dimajukannya permohonan praperadilan ini dipersidangan Termohon belum juga mengirimkan berkas perkara penyidikan a quo kepada Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat/Kejaksaan Negeri Sumbawa. Dengan demikian, segala rangakaian tindakan penyidikan yang dilakukan oleh Termohon setelah 90 hari adalah tindakan tidak sah menurut hukum, sehingga semua pembuktian berkenaan dengan kasus Pemohon tidak mempunyai nilai pembuktian secara hukum untuk dipergunakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka, maupun penangkapan/penahanan.
16)     Bahwa Termohon telah melakukan PENANGKAPAN DAN PENAHANAN YANG TIDAK SAH TERHADAP PEMOHON karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Laporan Kejadian tanggal 29 September 2017 yang dibuat oleh BKPH Puncak Ngengas Batu Lanteh dan Laporan kejadian tanggal 4 November 2017 yang dibuat oleh BKPH Ampang Plampang merupakan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UU No 18 Tahun 2013, tertulis: “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan laporan yang berasal dari masyarakat dan/atau instansi terkait”, dan dipergunakan Termohon untuk melakukan penangkapan, sesuai Pasal 38 ayat (1) UU No 18 Tahun 2013, tertulis: Penyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana perusakan hutan berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam. Sekaligus Laporan Kejadian dari personil Termohon wajib hukumnya bagi Termohon segera melakukan tindakan penyidikan setelah adanya laporan sesuai dengan Pasal 106 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang tertulis: Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Ini Artinya Termohon segera melakukan penangkapan terhadap diri Pemohon dalam tempo waktu 2 x 24 Jam setelah adanya laporan tanggal 29 September 2017 dan 4 November 2017 sebagai bukti permulaan cukup. Namum faktanya Termohon baru melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon ketika hadir dipanggil sebaga saksi oleh Termohon pada tanggal tanggal 25 Mei 2018 dan pada tanggal yang sama Pemohon ditetapkan sebagai Tesangka dan ditangkap selanjutnya ditahan.
17)    Bahwa pada tanggal 30 Mei 2018 Pemohon melalui Penasehat Hukumnya dari Kantor Hukum MANGANDAR & REKAN Advokat, Mediator dan Konsultan Hukum telah mengirimkan surat No. 09/B/KH.MGR/2018, perihal Permintaan: 1) Berita Acara Pemeriksaan Tersangka an. DABUK, 2) Berita Acara Lacak Balak April 2018, dan 3) Melakukan Lacak Balak Ulang, yang ditujukan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi NTB (Termohon), namun sampai saat sekarang belum ada tanggapan dan kami mendapat informasi bahwa Termohon pada hari Jum’at tanggal 1 Juni 2018 melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang termasuk orang yang memiliki kayu hutan hak yang pernah dibeli Pemohon namun belum pernah dilakukan lacak balak. Selanjutnya surat Pemohon tersebut ditembukan ke beberapa institusi termasuk kepada Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa dengan harapan bila ada permohonan penetapan penyitaan yang dimohonkan oleh Termohon agar ditolak karena menurut Pemohon penyitaan yang dilakukan oleh Termohon telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil permohonan praperadilan tersebut di atas Pemohon memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa cq. Yang Mulia Hakim agar menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut:
1)    Mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;
2)    Menyatakan tidak sah Surat Perintah Penyidikan No. SP.Sidik.02/IV/PPNS-DISLHK/2018 tanggal 30 April 2018;
3)    Menyatakan tidak sah Surat Perintah Penangkapan No. SP.KAP.03/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018;
4)    Menyatakan tidak sah Surat Perintah Penahanan No. SP.HAN.03/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018;
5)    Menyatakan tidak sah segala penyidikan yang dilakukan oleh Termohon terhadap PEMOHON setelah melewati batas waktu 90 hari sejak tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017;
6)    Menyatakan tidak sah penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon terhadap diri Pemohon;
7)    Menghukum Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari rumah tahanan negara POLDA NTB sesat setelah putusan praperadilan a quo dibacakan;
8)    Menyatakan tidak sah penyitaan 9 truk berserta muatan kayu dan dokumen pada tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017 sebagaimana Surat Tanda Penerimaan No. STP.02/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018 dan Berita Acara Penyitaan tanggal 25 Mei 2018;
9)    Menghukum Termohon mengembalikan segera seluruh penyitaan 9 truk berserta muatan kayu dan dokumen yang disita pada tanggal 29 September 2017 dan tanggal 4 November 2017 sebagaimana Surat Tanda Penerimaan No. STP.02/V/PPNS-DisLHK/2018 tanggal 25 Mei 2018 dan Berita Acara Penyitaan tanggal 25 Mei 2018 sesat setelah putusan praperadilan a quo dibacakan kepada Pemohon;
10)     Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil.

Demikian surat permohonan praperadilan dari kami Penasehat Hukum Pemohon, atas segala perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami,

PENASEHAT HUKUM PEMOHON/TERSANGKA,





1)  YAN MANGANDAR PUTRA, SH             2)  KURNIAWAN, SH
 

Pihak Dipublikasikan Ya