Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SUMBAWA BESAR
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2023/PN Sbw dr. DEDE HASAN BASRI KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 02 Agu. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2023/PN Sbw
Tanggal Surat Selasa, 01 Agu. 2023
Nomor Surat 171/PDN.Pra.Pid/Adv.SS/VIII/2023
Pemohon
NoNama
1dr. DEDE HASAN BASRI
Termohon
NoNama
1KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA
Kuasa Hukum Termohon
NoNamaNama Pihak
1RIKA EKAYANTIKEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA
2ABDIRUN LUGAKEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA
3ZANUAR IRKHAMKEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA
Petitum Permohonan

Sumbawa Besar, 1 Agustus 2023

Nomor     : 171/PDN.Pra.Pid/Adv.SS/VIII/2023
Hal         : Permohonan PRAPERADILAN atas nama dr. DEDE
          HASAN BASRI.



Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar
di-
Sumbawa

Dengan Hormat, Perkenankanlah kami yang bertanda tangan dibawah ini :
1.    SURAHMAN. MD, SH, MH.
2.    HASANUDDIN NASUTION, SH, MH
3.    MUHAMMAD YUSUF PRIBADI, SH
4.    ELVIRA RIZKA AUDILAH, SH (Ass.Advokat/Paralegal)
Semuanya merupakan Advokat & Konsultan Hukum dari Law Office SS & PARTNERS, yang beralamat di Jl. Bungur Nomor 19 Sumbawa Besar – NTB. Hp. 082339657557 – 081935995577, domisili Elektronik : surahmansh@gmail.com Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor : 396/PDN/Adv.SS/VIII/2023, tanggal 28 Juli 2023, bertindak baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama klien kami :
dr. DEDE HASAN BASRI, Laki-laki, usia 51 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Dokter, yang beralamat di Jl. Dr. Sutomo nomor 5 RT.001 RW.007, Kelurahan Pekat, Kecamatan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.    Selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai…………………………...…………………………………..PEMOHON.
M E L A W A N :
KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA yang beralamat di Jl. Manggis nomor 7, Kelurahan Uma Sima, Sumbawa Besar. Selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai…………………TERMOHON.
Untuk mengajukan permohonan PRAPERADILAN terhadap Penetapan sebagai TERSANGKA dalam kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pemerasan dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa tahun 2022.  sebagaimana dimaksud Pertama : Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 65 ayat 1 KUHP atau Kedua : Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 421 Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP oleh KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SUMBAWA selaku Penyidik.
Adapun yang menjadi alasan atau dasar permohonan PEMOHON adalah sebagai berikut :
I.  DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1.    Bahwa sebelum PEMOHON menguraikan alasan Permohonan Praperadilan ini, terlebih dahulu kami menyampaikan dasar-dasar hukum mengenai kewenangan dan Obyek Lembaga Praperadilan;
2.    Bahwa Tindakan Upaya Paksa, seperti Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan, Penetapan Tersangka,  Penahanan, dan Penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10). Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan terjadi tindakan kesewenang-wenang dari Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum dapat ditegakkan terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Tersangka/Terdakwa  dalam pemeriksaan Penyidikan dan Penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak Tersangka/Terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah Penyidik atau Penuntut Umum dalam melakukan tindakan Penetapan Tersangka, Penangkapan, Penggeledahan, Penyitaan,  Penahanan, dan Penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang sebagai TERSANGKA;
3.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang :
a.    Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b.    Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c.    Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
4.    Bahwa selain itu yang menjadi Obyek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah :
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang :
a.    Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.    ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
5.    Bahwa Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi dan tidak dapat menjangkau fakta perlakuan Aparatur Penegak Hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh Perlindungan Hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian dapat diakomodirnya mengenai sah atau tidaknya penetapan Tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan kesewenang-wenang oleh Aparat Penegak Hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun. Peristiwa hukum inilah yang menurut Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi control dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
6.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak Tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan “Penetapan Tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut diantaranya :
1)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :  38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel, tanggal 27 November 2012.
2)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Noomor : 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 15 Februari 2015.
3)    Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2015.
4)    Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor : 6/Pid.Pra /2021/PN.Mtr, tanggal 3 Nopember 2021.
7.    Bahwa, sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, obyek Praperadilan diperluas selain dari apa yang sudah termuat dalam pasal 77 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut diatas, penetapan seseorang menjadi Tersangka pun dapat menjadi obyek Praperadilan;
8.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya Lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan Penetapan Tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili :
Menyatakan :
1.    Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
-    [dst]
-     [dst]
-    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
-    Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
9.    Bahwa dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang atau Objek Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat Final dan Mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan;
10.    Bahwa selain adanya Putusan Mahkamah Konstitusi  Nomor : 21/PUU-XII/2014 tersebut terdapat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 130/PUU-XIII/2015, yang mewajibkan Penyidik untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Penuntut Umum, Pelapor/Korban, dan Terlapor, memancing peran serta masyarakat untuk ikut membantu mengawasi bekerjanya sistem Peradilan Pidana dalam fungsi kontrol sosial;
11.    Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 3 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan” yang mana amar Putusannya sebagai berikut :
Mengadili :
1.    ....;

2.    Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor”.
3.    Dst..;

4.    Dst...
- Bahwa, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 3/PUU-XI/2013 tanggal 27 Mei 2013, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut “Bahwa menurut Mahkamah, dengan mempertimbangkan perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak diterbitkan surat penangkapan tersebut. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sesuai dengan asas kepatutan dan kepastian hukum, frasa “segera” dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera”;

II.  ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
A.    TIDAK ADA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA SERTA PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, TIDAK DIBERIKAN TURUNAN SERTA SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP)
1.    Bahwa pada tahun 2022, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa dalam pengadaan sarana RSUD dan pelaksanaan pekerjaan telah mengacu pada Permendagri 79 Tahun 2018 terhadap pengelolaan keuangan pada RSUD Sumbawa menggunakan sistem BLUD, sehingga RSUD Sumbawa telah menyusun Rencana Bisnis Anggaran (RBA) yang berpedoman kepada DPA Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa yang telah disyahkan dalam Tahun Anggaran 2022. RBA RSUD Sumbawa sebesar RP. 105.000.000.000.- (Seratus Lima Milyar Rupiah), namun dalam pelaksanaannya hanya terealisasi sebesar RP. 78.087.287.257,33.- (Tujuh Puluh Delapan Milyar Delapan Puluh Tujuh Juta Dua Ratus Delapan Puluh Tujuh Ribu Dua Ratus Lima Puluh Tujuh Rupiah Tiga Puluh Tiga Sen) dengan persentase hanya 74,37 % (Tujuh puluh empat koma tiga puluh tujuh persen) dari 100 % belum lagi beban biaya yang terjadi disebabkan beberapa faktor antara lain adalah :
a.    Bahwa saat pendemi Covid 19 sehingga pelayanan berkurang hanya melayani pasien khusus Covid 19 secara signifikan mengakibatkan menurunnya pendapatan RSUD Sumbawa.
b.    Bahwa adanya tindakan yang dilakukan oleh dokter spesialis dengan tindakan terhadap pasien yang seharusnya dilakukan di RSUD Sumbawa namun kenyataanya tindakan terhadap pasien dilakukan di rumah sakit lain yaitu RSUD Manambai dan RSU Muhammadiyah.
c.    Bahwa hal ini juga terjadi akibat dari adanya kegiatan olah raga internasional berupa kegiatan MXGP Tahun 2022 yang merupakan event kelas internasional berpengaruh terhadap ketersediaan alat kesehatan dan untuk pelaksanaan event tersebut ketersediaan alat dan layanan kesehatan diharuskan berstandar internasional, hal ini harus dipenuhi oleh RSUD Sumbawa.
d.    Bahwa adanya penilaian RSUD Sumbawa terkait akreditasi untuk menaikkan kelas RSUD Sumbawa dari Bintang 4 menjadi Bintang 5 dan dalam kegiatan persiapan menaikan status akreditasi tersebut, RSUD Sumbawa harus menyiapkan sarana-prasarana guna standarisasi yang dipersyarakan sebagai Rumah Sakit yang terakreditasi, hingga bisa naik status menjadi Bintang 5 dan masuk kategori RSUD Paripurna. Akibat dari kegiatan tersebut, RSUD Sumbawa menimbulkan beban atau hutang atas beberapa aitem pekerjaan;
2.    Bahwa dalam pelaksanaan pengadaan Alkes serta pekerjaan fisik pada RSUD Sumbawa, PEMOHON sebagai KPA dan PPK serta PPSPM telah mengacu kepada Peraturan BPK No. 18 Tahun 2020 Tentang Tugas-Tugas Pokok dan Wewenang Pengadaan Barang Dan Jasa yang dalam hal ini PEMOHON selaku PPK dalam tiap kegiatan pengadaan diawali dengan adanya usulan dari bidang masing-masing yang sesuai kebutuhan kemudian usulan tersebut saya disposisikan kepanitia pengadaan untuk dilakukan seleksi dan kajian secara umum baik menyangkut spesifikasi tehknis, harga satuan, sistem pengadaan dan keseluruhan semua hal yang berkaitan dengan kegiatan baik sampai evaluasi kualitas harga terhadap kebutuhan tersebut dan setelah seleksi serta kajian selesai disampaikan kepada PEMOHON selaku direktur merangkap PPK menyetujui hasil dari kajian panitia pengadaan, kemudian panitia pengadaan melaksanakan kegiatan tersebut sesuai dengan hasil kajian panitia pengadaan sendiri. Dan ketika barang-barang yang diadakan sesuai kegiatan tersebut diserahkan penyedia langsung sampaikan kepada PPK kemudian memerintahkan bendahata penerima barang untuk melakukan pengecekan apakah barang yang diserahkan penyedia telah sesuai dengan yang dimintakan dalam kontrak disertakan faktur barang, jumlah maupun spesifikasinya kemudian dicatat oleh bendahara penerima barang baik untuk disimpan maupun didistribusikan kepada bidang-bidang yang membutuhkan sesuai dengan data permohonannya;
3.    Bahwa terkait dengan pembayaran kepada Perusahaan/Rekanan PEMOHON selaku PPK memanggil semua Pejabat Pengadaan Barang dan Jasa terkaít dengan tujuan untuk mengetahui pembayaran mana yang lebih urgent untuk diselesaikan terlebih dahulu serta apabila dalam situasi mendesak maka PPK mengambil sikap untuk melakukan pembayaran dengan beberapa tahap sesuai kemampuan keuangan RSUD Sumbawa dan tentu cara pembayaran dalam beberapa tahap lalu di komunikasikan dengan penyedia;
4.    Bahwa PEMOHON selaku KPA atau PPK tidak pernah bertemu secara langsung dengan Perusahaan/Rekanan dan tidak pernah menyuruh bawahan untuk menemui Perusahaan/Rekanan apalagi mau meminta imbalan berupa uang atau barang atas item pekerjaan terbut;
5.    Bahwa dalam perjalanan saksi HARDIANSYAH (Pegawai RSUD Sumbawa) dan saksi MUHAMAD ZAINURI (Honorer RSUD Sumbawa) telah menemui Perusahaan/Rekanan dengan mencatut nama PEMOHON, seolah-olah PEMOHON menyuruh mereka untuk meminta sejumlah uang/barang, dan ironisnya tanpa adannya konfirmasi atau kelarifikasi balik dari Perusahan/Rekanan ke PEMOHON guna membuktikan kebenarannya atas permintaan uang tersebut, serta tanpa sepengetahuan PEMOHON Perusahaan/Rekanan telah memberikan sejumlah uang kepada saksi MUHAMAD ZAINURI dan saksi HARDIANSYAH;
6.    Bahwa hal yang sama juga dilakukan oleh saksi HARDIANSYAH dan saksi MUHAMAD ZAINURI terhadap Perusahaan/Rekanan PT. GLOBAL HUMI INDONESIA dengan membuat kontrak kerja Fiktif dengan cara melakukan pencatutan nama serta tangda tangan PPK atas nama PEMOHON;
7.    Bahwa hal yang sama pula dilakukan oleh saksi HARDIANSYAH, saksi MUHAMAD ZAINURI dan saksi DANANG terhadap Perusahaan/Rekanan PT. SBM (SUMBER BALI MAKMUR) dengan mengalihkan PO ke CV. JUNISTI MANDIRI, tanpa melalui prosedur serta tanpa adanya Kuasa Direktur yang dikarenakan dialihkan secara paksa oleh saksi HARDIANSYAH dan saksi MUHAMAD ZAINURI dengan membuat kontrak kerja Fiktif serta melakukan pencatutan nama dan tangda tangan Piktif alias Palsu yang seolah-olah Asli atas nama PEMOHON selaku PPK, FAHRUL ROZI selaku (Kepala Instalasi Farma) dan saudari NANA selaku (PPTK);
8.    Bahwa selain dari pada itu saksi MUHAMAD ZAINURI, saksi HARDIANSYAH dan saksi DANANG Kembali melakukan perbuatan tercela dengan kembali mencatut nama PEMOHON pada tem pekerjaan yang Fiktif, yakni membuat Surat Perintah Kerja (SPK) terhadap dokumen Pengadaan Barang dan Jasa untuk Perusahaan CV. DINDA LESTARI, CV. BADRUZZAMAN dan CV. BANGKIT DUA SAUDARA kemudian dijadikan jaminan terhadap pinjaman modal usaha pada Bank NTB Syariah Cabang Lopok dengan nilai pinjaman sebesar ± Rp. 1 Milyar Rupiah, terhadap hal tersebut saksi MUHAMAD ZAINURI, saksi HARDIANSYAH dan saksi DANANG bukan hanya mencatut nama dan tanda tangan yang dipalsukan seolah asli atas nama PEMOHON saja tapi juga mencatut nama dan tanda tangan dipalsukan seolah asli atas nama FAHRUL ROZI selaku (Kepala Instalasi Farma) dan saudari NANA selaku (PPTK);
9.    Bahwa setelah dilakukan kajian hukum terkait peristiwa sebagaimana diuraikan diatas, maka yang menjadi pertanyaan siapakah yang melakukan pemerasan tersebut serta siapakan yang bertanggung jawab dalam hal ini apakah orang yang meminta, apakah orang yang memberi atau kah orang yang menerima langsung pemberian tersebut. Bahwa dari perspektif dalam bukti permulaan, hal tersebut menjadi sangat penting untk sampai pada kesimpulan bahwa si A lah yang bertangung jawab atas peristiwa terhadap Dugaan Tindak Pidana tersebut;
10.    Bahwa dalam hal ini sebagaimana rentetan peristiwa serta faktanya, bila ada pelanggaran terhadap perbuatan yang dilakukan sendiri-sendiri maka yang patut di persalahan adalah orang yang melakukan perbuatan secara langsung dan bukanlah PEMOHON melainkan para pelaku yang terlibat secara langsung terlebih dahulu ditetapkan sebagai Tersangka, (yakni orang yang meminta secara langsung kepada Perusahaan Penyedia kemudian orang yang memberi secara langsung dan orang yang menerima secara langsung). Sehingga dari rentetan peristiwa hukum tersebut bukti surat yang menjadi salah satu landasan sebagai bukti permulaan adalah tidak cukup karena tidak mengandung bukti awal yang membaratkan PEMOHON. Bahwa terhadap penilaian secara komprehensif akan semua alat bukti yang dijadikan sebagai bukti permulaan oleh TERMOHON tersebut PEMOHON mamandang banyak kejanggalan dan sedikit mengandung bukti permulaan atas kesalahan PEMOHON. Bahwa dalam peristiwa delik pidana yang dituduhkan pada PEMOHON karena berkaitan dengan pekerjaan yang pada RSUD Sumbawa maka seharusnya PENYIDIK/TERMOHON memperjelas hubungan hukum dan rentetan peristiwa siapa pelaku….? (Yang meminta, yang memberi dan yang menerima serta siapa-siapa yang melakukannya) yang harus dipersalahkan karena telah melakukan perbuatan Tindak Pidana tersebut sebagaimana yang disangkakan kepada PEMOHON. Bahwa dalam perkara ini TERMOHON tidak pernah menetapkan orang yang datang meminta kepada rekanan atau orang yang telah menerima barang/uang dari rekanan yakni saksi MUHAMAD ZAINURI dan saksi HARDIANSYAH sebagai TERSANGKA dengan demikian secara tidak langsung dapat ditafsirkan jika PENYIDIK/TERMOHON tidak menggali peristiwa hukum yang telah terjadi sehingga PEMOHON ditetapkan sebagai TERSANGKA?. Bahwa ini tentu menimbulkan tanya besar tentang upaya penegakann hukum yang dilakukan oleh TERMOHON;
11.    Bahwa akibat perbuatan hukum tersebut dan sebelum terjadi banyak korban, PEMOHON secara resmi telah melaporkan saksi MUHAMAD ZAINURI, saksi HARDIANSYAH dan saksi DANANG ke Polres Sumbawa sebagaimana Laporan Pengaduan tanggal 1 Februari 2023 dan Surat Pemberitahuan/Perkembangan Hasil Penelitian Laporan Nomor : SP2HP/84/II/2023/Reskrim, tanggal 3 Februari 2023 serta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Nomor : SP2HP/126/III/2023/Reskrim, tamnggal 7 Maret 2023. Hal tersebut PEMOHON lakukan Pelaporan atas Tindak Pidana yang merugikan nama baik PEMOHON dan Jabatan PEMOHON selaku Pimpinan pada RSUD Sumbawa serta demi menyelamatkan keuangan RSUD Sumbawa karna perlakuan buruk Para Pelaku dan saat ini terhadap Laporan dari PEMOHON masih dalam proses penanganan oleh Penyidik Polres Sumbawa, Hal ini PEMOHON lakukan Sebelum adanya Laporan Dugaan Tindak Pidana Korupsi ini masuk;
12.    Bahwa pada tanggal 20 Juli 2023 PEMOHON ditahan oleh TERMOHON dan tidak pernah pulang lagi ke keluarganya;
13.    Bahwa pada tanggal 20 Juli 2023, TERMOHON telah menaikan status penanganan perkara terhadap diri PEMOHON dari Penyelidikan ke PENYIDIKAN sebagimana Surat Printah Penyidikan Nomor : Print-02/N.2.13/Fd.2/ 07/2023 tanggal 20 Juli 2023;
14.    Bahwa pada tanggal 20 Juli 2023, TERMOHON telah melakukan Penetapan TERSANGKA terhadap diri PEMOHON sebagimana SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2023;
15.    Bahwa pada tanggal 20 Juli 2023, TERMOHON telah melakukan PENAHANAN terhadap diri PEMOHON sebagimana SURAT PERINTAH PENAHANAN nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.1/07/2023 tanggal 20 Juli 2023;
16.    Bahwa PEMOHON merasa ada kejanggalan terhadap Penahanan diri PEMOHON oleh TERMOHON tanpa adanya SURAT PANGGILAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA, tanpa adanya SURAT PENETAPAN TERSANGKA dan tanpa adanya SURAT PENAHANAN;
17.    Bahwa dalam sangkaan Pasal tersebut TERMOHON hanya menetapkan Tersangka kepada diri PEMOHON saja, hal ini menimbulkan tanda tanya besar dalam penerapan Hukum yang dilakukan oleh TERMOHON serta sangat tidak sesuai dengan alur serta cara berpikir dengan akal sehat;
18.    Bahwa selanjutnya timbul pertanyaan apakah mungkin PEMOHON benar melakukan Perbuatan pidana yang di sangkakan kepadanya..?
19.    Bahwa penetapan “Tersangka” terhadap diri Pemohon  dengan dugaan “Pemerasan” dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa tahun 2022, padahal dari rentetan kejadian atau peristiwa hukum terbut yang justru telah dilakukan oleh orang lain terhadap Rekanan/Penyedia Barang dan Jasa Pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa tahun 2022;
20.    Bahwa Penerapan delik terhadap dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Perkara tersebut, biasanya dilakukan secara kolektif (lebih dari 1 orang pelaku) serta dilakukan secara berantai dan simultan, seharusnya TERMOHON dapat menyebutkan pihak lain yang turut serta atau mereka secara bersama-sama terlibat dalam kasus ini, karena esensi Hukum Pidana adalah mencari kebenaran secara materiil;
21.    Bahwa selanjutnya apa alasan dan dasar TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka, karena menetapkan seseorang sebagai Tersangka dapat dilakukan jika ditemukan 2 (dua) alat bukti Permulaan yang cukup dan memiliki keterkaitan antara kedua alat bukti tersebut yang dihubungkan dengan perbuatan yang dilakukan orang yang akan disangkakan, dapat dikatakan bahwa masing-masing alat bukti memiliki korelasi yang kuat dengan orang yang disangkakan sebagai pelaku tindak pidana, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang disangkakan (subyek hukum) tersebut memiliki korelasi yang kuat terhadap perbuatan tindak pidana yang telah dilakukan;
22.    Bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan cukup itu diatur berdasarkan Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri dengan Nomor : 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No.Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana;
23.    Bahwa terlebih dahulu PEMOHON uraikan tentang Ketentuan Hukum Acara Pidana terkait dengan Penyelidikan, Penyidikan, Penangkapan, Penahanan, dan Penyitaan;
24.    Bahwa, Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka “5”  KUHAP);
25.    Bahwa, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka “2” KUHAP);
26.    Bahwa, Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka “1” KUHAP);
27.    Bahwa, Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidan (Pasal 1 angka “14” KUHAP);
28.    Bahwa, Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 angka “16” KUHAP);
29.    Bahwa, Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka”20” KUHAP);
30.     Bahwa, Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka ”21” KUHAP);
31.    Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.;
32.    Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
33.    Bahwa Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP;
34.    Bahwa Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai Tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh Penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu;
35.    Bahwa untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh TERMOHON;
36.    Bahwa berdasar pada uraian di atas, maka tindakan TERMOHON yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Perkara nomor : 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum;
37.    Bahwa sampai saat Permohonan Praperadilan ini diajukan, TERMOHON tidak pernah memberikan turunan Surat Panggilan PEMOHON sebagai TERSANGKA, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 112 Ayat (1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil Tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
38.    Bahwa sampai saat Permohonan Praperadilan ini diajukan, PEMOHON tidak pernah diberikan turunan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh TERMOHON;
39.    Bahwa Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bagi PEMOHON adalah untuk kepentingan PEMOHON dalam mempersiapkan Pembelaan atas tindak pidana yang disangkakan kepada PEMOHON;
40.    Bahwa dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi Menyatakan “Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 3 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”;
41.    Bahwa dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat dikatakan bahwa penetapan Tersangka tanpa Pemberitahuan SPDP kepada Tersangka serta tanpa surat Pemanggilan kepada PEMOHON sebagai Tersangka dan Surat Penetapan Tersangka dapat dikatakan Tidak Sah Dan Cacat Hukum, karena melanggar hak seseorang dalam persiapan secara psikologis dan persiapan pembelaan atas sangkaan tersebut oleh PEMOHON, untuk itu haruslah Dibatalkan;

B.    PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA TANPA ADANYA SURAT PANGGILAN SEBAGAI TERSANGKA
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 112 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa : (1) Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil Tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
C.    PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA YANG TIDAK DISERTAI DENGAN SALINAN ATAU TURUNAN SURAT PENETAPAN TERSANGKA DAN TIDAK DIBERITAHUKAN KEPADA PEMOHON DAN KELUARGA PEMOHON.
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 3/PUU-XI/2013 tanggal 27 Mei 2013 telah menafsirkan kata “segera” dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang - undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam amar putusannya yang berbunyi “Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera”  

D.    PEMOHON DITAHAN TANPA ADANYA SURAT PERINTAH PENAHANAN SERTA SALINAN ATAU TURUNAN SURAT PERINTAH PENAHANAN TIDAK DIBERITAHUKAN KEPADA PEMOHON DAN KELUARGA PEMOHON
- Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 3/PUU-XI/2013 tanggal 27 Mei 2013 telah menafsirkan kata “segera” dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang - undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang - undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam amar putusannya yang berbunyi “Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera”;
- Bahwa lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 tanggal 27 Mei 2013 tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai berikut “Bahwa menurut Mahkamah, dengan mempertimbangkan perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak diterbitkan surat penangkapan tersebut.
- Bahwa PEMOHON telah ditahan oleh TERMOHON diketahui berdasarkan SURAT PERINTAH PENAHANAN Nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.1/07/2023, Tanggal 20 Juli 2023.
- Bahwa upaya paksa berupa tindakan Penahanan yang dilakukan Penyidik terhadap seseorang yang diduga melakukan Tindak Pidana diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
- Bahwa Pasal 20 (1) KUHAP mengatur, “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan”;
- Bahwa Pasal 21 ayat (3) mengatur, “(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya”;
- Bahwa dalam pasal 21 ayat (3) KUHAP memberikan aturan yang bersifat imperative dengan mengahruskan pemberitahuan Tembusan Surat Perintah Penahanan terhadap seseorang yang ditahan oleh Penyidik harus diberikan kepada keluarganya. Dengan demikian salah satu syarat penahanan sebagaimana dimaksud di dalam pasal Pasal 21 ayat (3) mengatur, ayat “(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan kepada keluarganya” hal ini tidak dipenuhi oleh TERMOHON;
- TERMOHON tidak memiliki Dasar Hukum yang kuat dalam konteks Azas Kepastian Hukum dalam proses Penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan, sehingga hal ini mencedrai Hak Asasi Manusia dan Hak Sebagai Warga Negara dalam konteks Negara Hukum dengan Azas Praduga Tak Bersalah serta bertentangan dengan Azas Legalitas. Artinya TERMOHON telah melakukan rangkaian proses penegakan hukum yang bertentangan dengan hukum sehingga mencedrai asas kepastian hukum bagi masyarakat serta cendrung menzolimi PEMOHON secara mental/pisikologis dan merusak nama baik PEMOHON dan keluarga PEMOHON;
- Bahwa faktanya sampai Permohonan ini kami ajukan, Keluarga PEMOHON tidak pernah menerima pemberitahuan tersebut;
- Bahwa dengan fakta tersebut diatas sudah sepatutnya SURAT PERINTAH PENAHANAN Nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.1/07/2023, Tanggal 20 Julu 2023, adalah cacat hukum sehingga patut dan layak dinyatakan Tidak Sah dan Tidak Memiliki Kekuatan Hukum Mengikat;
E.    PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON TERGOLONG TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
- Bahwa, Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut,  Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;
- Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat;
- Bahwa Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati;
- Bahwa menurut Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan dalam konsep ‘Rule of Law’, maupun dalam konsep ‘Rechtstaat’, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;
- Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan penyalahgunaan wewenang dan melampaui wewenang. Asas ini memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau pejabat negara” tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);
- Bahwa tindakan sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
– ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
– dibuat sesuai prosedur; dan
– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
- Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, PENETAPAN TERSANGKA, PENANGKAPAN, PENYITAAN serta PENAHANAN terhadap diri PEMOHON dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan a Quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya harus mengacu pada Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
F.    TENTANG PEMBUKTIAN DIBEBANKAN KEPADA TERMOHON SECARA TERBATAS
- Bahwa, tidak dapat dibenarkan seluruhnya bahwa dalam proses beracara pembuktian perkara Praperadilan, juga dianut ketentuan dalam hukum acara perdata dengan asas “actori incumbit probatio”, oleh karena tidak ada satupun ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan secara tegas bahwa proses beracara dalam perkara Praperadilan dilakukan seperti dalam hukum acara Perdata;
- Bahwa Hukum Acara Pidana menganut asas “Lex Scripta” yang berarti bahwa “Hukum Acara Pidana mengatur proses beracara dengan segala kewenangan yang ada harus tertulis”, dan asas “Lex Stricta” yang berarti bahwa “aturan dalam hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat”, konsekuensinya adalah ketentuan dalam hukum acara pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis;
- Bahwa, Tersangka adalah pihak yang tidak bisa secara bebas dan leluasa mengumpulkan bukti–bukti meskipun dengan bantuan Penasehat Hukum atau Kuasa Hukumnya, oleh karena pada umumnya kondisi Tersangka sedang dibatasi hak kebebasannya melalui upaya Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik;
- Bahwa selain sedang dibatasi hak kebebasannya oleh Penyidik, apabila Tersangka dituntut untuk membuktikan suatu perbuatan yang negatif, yaitu membuktikan bahwa upaya paksa berupa Penangkapan dan Penahanan yang dilakukan oleh Penyidik kepadanya adalah tidak sah, hal ini jelas sangat menyulitkan dan memberatkan Tersangka sebagaimana asas pembuktian yang dikenal yaitu asas “Negative Non Sunt Probanda” yang mana asas ini mempunyai pengertian bahwa “membuktikan sesuatu yang negatif sangatlah sulit”;
- Bahwa sangatlah adil dan bijaksana apabila dalam memeriksa perkara Praperadilan yang diajukan PEMOHON kepada TERMOHON dalam perkara aquo dapat diterapkan asas “Reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” atau di Indonesia dikenal dengan nama “pembalikan beban pembuktian”;

 III.  PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta Yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Cq. Hakim Tunggal yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini yang amarnya sebagai berikut :
1.    Menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan PEMOHON untuk seluruhnya;
2.    Menyatakan sah dan bernilai sebagai alat bukti, seluruh alat bukti yang diajukan oleh PEMOHON;
3.    Menyatakan Surat Printah Penyidikan Nomor : Print-02/N.2.13/Fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2023, yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan atas hukum  atau Cacat Hukum, oleh karenanya Surat Printah Penyidikan Nomor :  Nomor : Print-02/N.2.13/Fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2023, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4.    Menyatakan SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2023, yang dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan hukum oleh karenanya SURAT PENETAPAN TERSANGKA Nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.2/07/2023 tanggal 20 Juli 2023 kepada PEMOHON tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat;
5.    Menyatakan SURAT PERINTAH PENAHANAN nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.1/07/2023 tanggal 20 Juli 2023, yang telah dikeluarkan TERMOHON adalah Tidak Sah dan tidak berdasarkan Hukum atau Cacat Hukum, oleh karenanya SURAT PERINTAH PENAHANAN nomor : PRINT-01/N.2.13/Fd.1/ 07/2023 tanggal 20 Juli 2023 kepada PEMOHON tidak memiliki kekuatan Hukum mengikat;
6.    Memerintahkan TERMOHON untuk membebaskan PEMOHON dari Tahanan segera setelah Putusan ini dibacakan;
7.    Memerintahkan kepada TERMOHON untuk mengembalikan segala surat-surat yang disita oleh TERMOHON untuk segera dikembalikan ke posisi semula segera setelah Putusan ini dibacakan;
8.    Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyidikan terhadap PEMOHON;
9.    Memulihkan hak PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya;
10.    Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara menurut hukum.;

Apabila Yang Mulia Hakim Tunggal dalam perkara ini berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
 

Pihak Dipublikasikan Ya